Dalam dunia bisnis saat ini kekuatan finansial dipertanyakan, apakah masih merupakan modal utama untuk membangun sebuah usaha? Mungkin sebagian orang berpikir, “mana ada usaha bisnis bisa berjalan tanpa uang? Uang ada, bisnis jalan”. Pemikiran ini tidaklah salah, namun perkembangan zaman membuatnya menjadi tidak selalu benar.
Contoh seorang pengembang freelance (istilah yang saya gunakan, karena tanpa badan usaha) yang bekerja sendiri atau mungkin dalam sebuah tim kecil yang beranggotakan 5 orang, mereka tidak memiliki modal finansial yang memadai, namun otak mereka yang kreatif mampu menutupi kekurangannya. Di suatu ketika ada seseorang ingin menjual tanahnya, sang pengembang kemudian menawar tanah tersebut dengan catatan bahwa ia terlebih dahulu akan membangun sebuah rumah atau ruko di atas tanah tersebut, dan akan melunasi harga tanah apabila rumah/ruko tersebut telah laku terjual dalam jangka waktu tertentu, anggaplah sekitar 6 bulan. Pemilik tanah setuju, nah sang pengembang mulai beraksi.
Lantas, apa yang dilakukan oleh sang pengembang ini? Ia mulai mendesain sebuah rumah sesuai dengan bentuk, kountur, dan topografi tanah tersebut . Hasilnya kemudian ditawarkan kepada calon konsumen tentunya dengan harga di atas harga tanah dan biaya membangun. Jadi yang ditawarkan belum berbentuk bangunan, tetapi masih berupa gambar desain rumah. Pembangunan rumah akan dimulai jika sudah ada transaksi jual beli.
Lanjut cerita, apabila konsumen berminat, dibuatlah kesepatakan jual beli. Opsinya bisa dibeli secara tunai atau dengan mengangsur. Tentunya untuk mengurangi resiko bagi kedua belah pihak, apabila opsi mengangsur yang dipilih, maka pembiayaan melalui perbankan adalah jalan yang aman, yang lebih dikenal dengan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) dengan terlebih dahulu calon konsumen atau pembeli ini membayar uang muka.
Anda bisa bayangkan, sampai tahap ini berapa puluh juta uang sang pengembang yang keluar. Masih minim, mungkin hanya biaya transportasi, komunikasi (beli pulsa buat menghubungi calon pembeli), ngopi di warung kopi, dan biaya lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya.
Misalnya, pembelian dilakukan melalui KPR, biasanya biaya administrasi, biaya notaris, dan pajak itu ditanggung oleh pembeli. Nah, di sini sang pengembang nyantai lagi. Apabila dana kredit sudah cair, tentulah uang itu akan digunakan untuk membayar lunas harga tanah, menyelesaikan pembangunan rumah, dan kalau perhitungan sang pengembang ini tidak meleset, biasanya dia bisa meraup untuk sekitar 50% s.d. 150% dari transaksi jual beli rumah tersebut.
Ringkasnya begini, harga tanah Rp 40 jt, biaya membangun untuk tipe 36 misalnya Rp 60 jt, sehingga total harga tanah dan bangunan Rp 100 jt. Apabila harga rumah untuk tipe 36 di sekitar lokasi tersebut di atas Rp 175 juta, Anda bisa bayangkan berapa persen keuntungan sang pengembang, dengan tanpa mengeluarkan modal jutaan rupiah. Masuk akal ya?
Kalau dulu dalam pelajaran ekonomi, diajarkan bahwa modal dalam sebuah usaha nomor satu adalah berupa uang, kayaknya harus dikoreksi lagi. Begitu banyak contoh bahwa variabel uang bukan menjadi penentu memulai atau mengembangkan sebuah usaha. Bagaimana kita memetik pelajaran dari pengalaman orang lain atau pribadi, berusaha untuk selalu kreatif dan inovatif, dan tidak putus asa bisa menjadi variabel utama dalam memulai atau mengembangkan bisnis.
Sumber : http://abahanang.blogspot.com/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar