Yogyakarta, Siapa yang tak kenal jogja? Kota pelajar, tempat lahirnya para seniman, kota bersejarah dalam perjuangan kemerdekaan. Setiap tahun ada banyak wisatawan yang berkunjung ke Jogja. Tujuan mereka adalah menikmati berbagai suguhan kota gudeg ini. Rasanya selalu ingin kembali ke jogja.
Kota Jogja tak bisa dipisahkan dari perjalanan Islam di bumi Jawa. Keraton Kasultanan Ngayogyakarta merupakan salah satu bukti peninggalan yang menunjukkan besarnya pengaruh Islam di tatar merapi kala itu. Secara geografis Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Di sebelah utara berbatasan dengan salah satu kesultanan Islam yang ada di Indonesia saat itu, yakni Kesultanan Mataram.
Seperti halnya daerah lain di pulau Jawa, proses masuknya Islam ke tanah Jogja menandai sebuah transformasi sosial yang sangat besar. Sebelum datangnya Islam, perbedaan status dalam kasta-kasta sangat mewarnai kehidupan masyarakat kala itu. Begitupun dengan ritual keagamaan, paham, mistisisme legenda adalah bagian dari budaya masyarakatnya. Islam pun masuk dan memberikan alternatif serta warna bagi kebudayaan di masyarakat Jogja. Islam hadir dengan membawa semangat perubahan, persamaan dan saling menghormati. Inilah yang menjadi pondasi dalam hubungan sosial masyarakat jogja hingga kini.
Adalah Sunan Kalijaga yang menjadi tokoh sentral dalam pembentukan masyarakat Islam di Jogja. Dan pusat dakwah Sunan Kalijaga saat itu berpusat di Masjid Agung. Masjid ini memiliki eerambi yang disebut dengan “Al-Mahkamah Al-Kabirah”, yang berarti mahkamah agung. Fungsinya adalah sebagai tempat pengadilan, pertemuan para ulama, pengajian, peringatan hari besar Islam dan pelaksanaan ijab kabul, serta tempat untuk menyelesaikan berbagai persengketaan yang terjadi di kehidupan masyarakat.
Masjid yang beridi kokoh di tengah alun-alun, letaknya berdekatan dengan keraton, dan di depannya berdiri pohon beringin. Hal ini melambangkan empat unsur yang pasti dimiliki oleh kerajaan Islam, yaitu : istana keraton, alun-alun, dua buah pohon beringin dan masjid. Alun-alun diambil dari bahasa Arab, allaun, banyak macam atau warna. Fungsinya adalah tempat pertemuan rakyat dan penguasa. Adapun beringin, diambil dari kata waringin (bahasa Jawa baru) yang diserap dari bahasa Arab waraa’in yang artinya orang yang berhati-hati. Berjumlah dua merupakan perlambang sumber syariat Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadits. Keempat hal ini juga ada di kerajaan Islam lainnya. Dengan keempat hal inilah terkadung filosofis yaitu Baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghafur.
Dalam bidang keagamaan, lembaga kepenguluan dibentuk sebagai Penasehat Dewan Daerah. Lembaga ini diisi oleh orang-orang yang menguasi Islam dan mengelola masjid. Tidak hanya itu, lembaga kepenghuluan juga mengelola pendidikan dengan membangun pondok pesantren di masjid dan langgar-langgar. Dari sinilah proses pembentukan masyarakat Islam dilakukan. Hal ini menggambarkan bagaimana peran kerajaan (tepatnya kesultanan) dalam melakukan proses pendidikan Islam kepada rakyatnya.
Itulah sekelumit gambaran eratnya Islam dan masyarakat Jogja. Ini adalah bukti bahwa keberadaan kesultanan-kesultanan di Indonesia, termasuk Yogyakarta, sangat erat kaitannya dengan dinamika dunia sejak dahulu, termasuk dengan dunia Islam saat itu.
0 komentar:
Posting Komentar